Selasa, 28 Agustus 2012

Lelaki Buta

Cerpen Bomanto Deas

"Beri nilai sembilan di raporku," nada suaranya tidak mengisyaratkan permintaan tetapi lebih menyatakan sebuah pemaksaan yang berbau ancaman. Saya tidak mendengar suara itu, atau melihat seseorang mengucapkan kalimat itu sekarang, tetapi suara itu terngiang dengan sangat jelas di benak saya. Ujung belati yang runcing juga terasa di perut saya, melekat ketat, meskipun sekarang ini saya sadari benar bahwa tidak ada seorang pun yang menempel dengan tubuh saya.
"Aku tidak segan-segan membunuhmu. Di sekolah engkau guruku tapi di luar, di tempat sepi seperti ini, kau sanderaku, tawananku. Kau dengar? Ganti nilai merah di rapotku dengan angka sembilan atau kau tak dapat menjumpai anak-istrimu."

Sabtu, 25 Agustus 2012

Dua Wajah Ibu

Cerpen Guntur Alam
 
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.

S e r a g a m

Cerpen AK Basuki
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.